Makalah Tantangan Dai Menurut Surah As-Saf Ayat 2-3

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dakwah merupakan sarana untuk mengajak umat manusia agar dapat mematuhi perintah Allah SWT dan RasulNya, sehingga mampu menjalani hidup dan kehidupan ini dengan baik sesuai peraturan agama dan akhirnya kelak hidup di akhirat pun akan mendapatkan kebahagiaan seperti yang di janjikan  Allah SWT.
Dahulu, tugas pokok Rasulullah SAW adalah berdakwah mengajak manusia untuk mengikuti ajaranajarannya yang dibawa oleh Allah SWT yang mengutusnya. Tetapi setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabatlah yang melanjutkan dakwah Rasulullah SAW sampai umatumatnya saat ini.
Orangorang yang menyampaikan ajaranajaran Allah SWT kepada sesamanya itu disebut sebagai dai atau muballigh. Mereka itulah orang-orang terpilih untuk melanjutkan dakwah Rasulullah SAW dan para sahabat dengan berfokus pada  AlQuran dan Hadits. Tugas utama para dai atau muballigh adalah mengajak anggota masyarakat mulai dari kaum kerabat dekatnya ke jalan yang benar, bukan mengajaknya ke jalan yang mungkar. Sebab saat ini banyak sekali fenomena,orangorang yang mengakui dirinya sebagai dai yang handal, mempunyai banyak pengetahuan agama, dan sebagai pemimpin dakwah yang mengajarkan manusia tentang kebenaran islam tetapi sesungguhnya dia telah menyelewengkan agama.[1]
Oleh karena itu, subyek dakwah dalam kegiatan dakwah Islamiyah adalah merupakan faktor yang sangat penting karena pelaksanaan dakwah tidak akan bisa berjalan tanpa adanya subyek dakwah tersebut. Demikian juga subyek dakwah mempunyai peranan yang besar dalam menentukan keberhasilan suatu misi dakwah Islamiyah.
Dengan fenomena di atas, kami kemudian mengangkat judul makalah “Subyek Dakwah” sebagai bahan presentasi kami pada diskusi yang akan dilaksanakan dengan bahan kajian Ayat, terjemahan, dan tafsir QS As-Shaf ayat 2-3, kandungan surah As-Shaf ayat 2-3, dan hadist tentang dakwah yang dimulai dari diri sendiri.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami menyusun rumusan masalah ialah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Tantangan Dai berdasarkan QS As-Shaf ayat 2-3 ?
2.      Apakah Tafsir QS As-Saf ayat 2-3 ?
3.   Apakah Kandungan surah As-Shaf ayat 2-3 ?
4.   Apakah Hadist tentang dakwah yang dimulai dari diri sendiri ?

C.     Tujuan Penuliasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penulis dalam makalah ini ialah sebagai berikut :
1.       Untuk mengetahui tantangan Dai berdasarkan QS As-Shaf ayat 2-3.
2.       Untuk mengetahui Tafsir QS As-Saf ayat 2-3
3.      Untuk memahami Kandungan surah As-Shaf ayat 2-3.
4.      Untuk mengetahui Hadist tentang dakwah yang dimulai dari diri sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tantangan Dai
Subjek Dakwah adalah orang yang melaksanakan tugas-tugas atau aktivitas dakwah yang disebut dengan dai, karena dari tugasnya menyampaikan dakwah atau juga disebut dengan muballigh.
Seorang pelaksana dakwah diumpamakan sebagai seorang pedagang yang pekerjaannya menawarkan barang-barang dagangannya kepada pembeli atau seperti dokter yang tugasnya merawat dan berupaya menyembuhkan penyakit pasien.[2]
Pelaksana dakwah mempunyai tugas (fungsi) menyebarkan agama kepada umat manusia antara lain dengan jalan :
a.       Meluruskan ittiqad
b.      Mendorong dan merangsang untuk beramal
c.       Membersihkan jiwa
d.      Menolak kebudayaan yang merusak
Dengan melihat tugas dari pelaksana dakwah yang mempunyai peranan untuk menentukan berhasil atau tidaknya tujuan dakwah , maka pelaksana dakwah dituntut untuk memiliki persyaratan-persyaratan di antaranya :
a.       Sifat Imani
Taraf pemantapan pelaksanaan dakwah dalam melaksanakan tugasnya harus melebihi kebanyakan orang, sebab jika tidak demikian mereka tidak mempunyai keutamaan dakwahnya, bahkan sebaliknya akan memikul dosa. Pelaksanaan dakwah adalah orang-orang yang telah menyatakan ba’iat, tergantung pada sejauh mana ia menetapi sifat-sifat keimanannya kepada Allah.

b.      Sifat Islami
Pelaksanaan dakwah dalam perjalanan yang panjang, di samping menghadapi rintangan, kesulitan dan cobaan, sangat membutuhkan sesuatu yang azasi, yang bisa memantapkan dirinya senantiasa melaksanakan tugas sucinya yaitu bantuan, pertolongan dari Allah SWT. Sifat-sifat islami tersebut tercermin dalam ibadah kepada Allah SWT.
c.       Sifat Ikhsan
Dalam pelaksanaan dakwah tak ubahnya seperti kapal di tengah laut yang sedang bergumul dengan ombak. Untuk itu pelaksanaan dakwah harus memiliki sifat-sifat ikhsani agar mendapat biduk penyelamatan seperti : makrifat kepada Allah, ibadah dan hanya takut kepada Allah SWT, zikir, ikhlas, dan ridha kepada-Nya.
d.      Sifat Khuluki
Dalam hidup dan kehidupan di dunia ini ditemui aktivitas yang beraneka ragam, dalam hal amar ma’ruf nah Munkar. Dan kadang ditemui jalan pelaksana dakwah dipenuhi dipenuhi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, tetapi jalan kepada kesesatan dipenuhi dengan kesenangan dan kegemerlapan. Karena itu pelaksana dakwah perlu memiliki sifat khuluki, agar tidak tepercaya oleh segala amarah yang hendak menjatuhkan dirinya ke lembah kehinaan. Sifat-sifat khuluki itu tercermin dari sifat terpuji, bijaksana dan sifat terpuji lainnya.
e.       Sifat-sifat Ilmi
Sebagai syarat-syarat penunjang pelaksana dakwah hendaklah memiliki ilmu pengetahuan agama dan pengetahuan umum, sehingga memperoleh pandangan yang luas, nasional, logis, sistematis, metodis, dalam menyampaikan dakwah.[3]
Selain persyaratan-persyaratan tersebut, maka Ahmad Mustafa Al-Maragy memberikan persyaratan sebagai berikut :
1.      Hendaknya pandai dalam bidang Al-quran sunah dan sirah nabi Muhammad SAW dan khulafaurasydin.
2.      Hendaknya pandai membaca situasi orang-orang yang sedang menerima dakwahnya baik dalam urusan bakat, watak dan akhlak mereka atau mengetahui kehidupan sosial mereka.
3.      Hendaknya mengetahui bahasa umat yang dituju oleh dakwahnya, Rasulullah SAW sendiri memerintahkan kepada sahabat agar mempelajari bahasa ibrani, karena beliau sendiri bertetangga dengan orang ibrani sehingga dapat lebih dekat kepada mereka.
4.      Mengetahui agama, aliran, sekte-sekte masyarakat agar juru dakwah bisa mengetahui kebatilan-kebatilan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, bila seseorang tidak jelas kebatilan yang dilakukannya, maka sulit baginya memenuhi ajakan kebenaran yang disampaikan orang lain, sekalipun orang tersebut telah mengajaknya.[4]
Pelaksana dakwah adalah ibarat pedagang, maka seorang pelaksana dakwah hendaknya menjual dulu dakwahnya kepada dirinya sendiri, dengan demikian akan memberikan dorongan kekuatan agar dakwah yang disampaikan mendapat sambutan dari sasaran dakwah.[5] Untuk itu sebelum dakwah menembus hati orang lain, maka subjek dakwah terlebih dahulu harus menembus hatinya sendiri dalam QS. As-Saf/61 : 2-3
http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/61_2.png
http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/61_3.png
Terjemahnya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saf/61:2-3)[6]

B.      Tafsir QS As-Saf/61: 2-3
Mulia sekali dipanggil nama yang patuh, yaitu orang-orang yang beriman! Panggilan itu adalah panggilan yang mengandung penghormatan yang tinggi. Tetapi, panggilan itu diiringi dengan pertanyaan, dan pertanyaan itu mengandung keheranan dan keingkaran; Kamu telah mengaku diri orang yang beriman, dan Tuhan pun telah memanggil kamu dengan panggilan yang penuh penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak pernah kamu kerjakan. Sebab mengatakan dengan mulut apa yang tidak pernah dikerjakan tidaklah patut timbul dari orang yang telah mengaku beriman kepada Allah. Syaikh Jamaluddin Al-Qasimiy menulis dalam tafsirnya : “Mengatakan barang yang tidak pernah dikerjakan adalah berdusta, dan berdusta sangatlah jauh daripada orang yang mempunyai murau-ah, yaitu yang tahu harga diri. Sedang mur-ah itu adalah dasar yang utama yang menyebabkan timbulnya Iman. Karena Iman yang asli ialah kembali kepada fitrah yang pertama, yaitu kemurnian jiwa dan agama yang benar itulah dia. Kalau iman asli itu telah tumbuh, dengan sendirinya pula dia akan menumbuhkan pula berbagai dahan dan ranting perangai-perangai yang utama dalam berbagai ragamnya, yang di antaranya ialah ‘IFFAH’, artinya dapat mengendalikan diri. Kesanggupan mengendalikan diri menyebabkan timbulnya pula tahu akan harga diri, dan itulah dia muru-ah. Dan seorang yang telah mau berbohong tanda muru-ahnya telah luntur. Artinya imannya yang luntur. Karena suatu ucapan lidah adalah khabar berita yang mengandung arti. Arti yang terkandung ditunjukkan susunan kata. Arti terletak di dalam batin, dan ucapan yang keluar dari mulut memakai bibir dan lidah. Sedang suatu dusta adalah kata-kata ucapan mulut yang berbeda di antara yang terucap dengan yang sebenarnya di dalam hati. Dengan demikian maka pelakunya telah masuk ke dalam perangkap syaithan.
Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangat di benci oleh Allah. Hal yang demikian tidaklah layak bagi orang yang telah mengaku beriman. Ayat 2 dan 3 ini adalah peringatan sungguh-sungguh bagi orang yang telah mengaku beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya jangan menjadi pembohong.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. berkata bahwa dia menghafal ucapan Rasulullah SAW. yang demikian bunyinya :
“Tinggalkanlah barang yang menimbulkan keraguan engkau dan ambil yang tidak meragukan. Sesungguhnya kejujuran membuat hati tenteram dan dusta adalah membuat hati ragu-ragu.” (Diriwayatkan oleh At-Tarmidziy).[7]
Sebab itu maka hati orang yang beriman itu tidaklah boleh ragu-ragu. Ragu-ragu hanya dapat hilang apabila hidup bersikap jujur. Kejujuran untuk memupuk iman. Iman itu mesti selalu dijaga. Kalau dilihat sepintas lalu saja tidaklah mungkin orang yang beriman diberi nasehat supaya jangan berbohong, jangan berdusta. Tetapi tidak jarang kejadian, karena kurang pemeliharaan iman itu jadi rusak karena dusta. Sebab itu kita dapatilah di dalam Al-Qur’an beberapa peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya dia bertaqwa.
Dalam surat ke 4, An Nisaa ayat 136 diperingatkan dengan jelas:
Quran, Surah An-Nisaa, Ayat 136
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q.S. An-Nisaa : 136)[8]
Orang yang perkataannya tidak cocok dengan perbuatannya tidaklah akan ada padanya keberanian berjuang dengan sungguh-sungguh. Sebab, Qitaal atau Jihaad, berperang atau berjuang menghendaki disiplin jiwa sebelum disiplin sikap.
Dalam ayat ini Allah menyatakan cintanya kepada hambanya yang beriman, bilamana mereka bersusun berbaris dengan teratur menghadapi musuh-musuh Allah di medan perang. Mereka berperang pada jalan Allah, membunuh ataupun terbunuh. Tujuan mereka hanya satu, yaitu supaya kalimat Allah tetap di atas dan agama Tuhan tetap menang, di atas dari segala agama.
Tersebut, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, yang diterima dengan sanadnya dari sahabat Nabi Anu Sa’id Al-Khudry :
“Bersabda Rasulullah SAW: “Tiga orang yang Allah tertawa melihat mereka : 1) seorang laki-laki yang bangun sembahyang tengah malam, 2) Suatu qaum yang bershaff diwaktu sembahyang, 3) dan suatu qaum yang bershaff ketika berperang.”[9]
Oleh sebab itu maka sembahyang dan berperang samalah memerlukan Iman. Di zaman Nabi SAW. hidup, Nabi Imam dalam sembahyang dan Imam dalam berperang. Kalau dalam sembahyang seorang ma’mun tidak boleh mendahului Imam, dalam peperangan seorang prajurit pun wajib patuh, tunduk, dan tidak membantah sedikit pun kepada perintah atasan.
Sa’id bin Jubair mengatakan bahwa Rasulullah SAW. ketika akan memulai peperangan dengan musuh mestilah lebih dahulu mengatur barisan; “Seakan-akan mereka suatu bangunan yang kokoh.” Muqatil bin Hayyan berkata; “Rapat bersusun di antara yang satu dengan yang lain.”[10]
Qatadah berkata; “Seakan-akan bangunan yang kokoh! Tidakkah kau lihat seorang yang membangunkan suatu bangunan? Tidak ada yang tertonjol atau tinggi rendahnya. Demikian pulalah Allah Azza wa jalla tidaklah Dia suka perintahnya tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Allah memerintahkan barisan di medan perang sebagaimana barisan di medan sembahyang berjama’ah. Teguhilah memegang perintah Allah ini supaya kamu menang!”[11]
Dengan ajaran ini teranglah bahwa Islam bukanlah semata-mata untuk kepentingan diri, untuk bersama merenung diri dengan tidak mementingkan masyarakat. Seorang muslim adalah anggota dari masyarakat Islam yang besar. Di antara agama dengan keduniaan tidak ada pemisahan. Di waktu Rasulullah SAW. hidup masyarakat Islam telah terbentuk. Setelah beliau wafat, jenazah beliau belum dikebumikan sebelum diangkat Khalifah beliau yang akan menjadi IMAM menggantikan beliau. Maka tiap-tiap anggota masyarakat Islam wajiblah selalu mengokohkan Iman memperteguh hati dan sedia selalu buat berjuang.
Rasulullah SAW. bersabda :
“Barang siapa yang memohonkan agar dia mati dalam syahid dengan segala kejujuran hati niscaya Allah akan menyampaikannya ke tempat orang yang mati syahid, walaupun dia meninggal di atas pembaringannya.” (Diriwayatkan oleh Muslim dari Hadits Sahl bin Haniif). [12]
C.     Kandungan Surah As-Saf ayat 2-3
As-Shaff yang bermakna barisan adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang patut menjadi bahan renungan bagi para dai. Surat ini merupakan Ma’alim fii at-Thoriiq (petunjuk jalan) bagi aktivis dakwah. Surat ini walaupun pendek tetapi mencakup semua yang dibutuhkan para dai dari aqidah, akhlak, sejarah, ukhuwah, obyek dakwah, sampai pada puncak ajaran Islam, yaitu Jihad di jalan Allah. Sehingga para kader wajib menghafalnya, mentadaburinya secara berulang-ulang dan mengamalkannya dalam aktivitas dakwah mereka.
Nama surat biasanya menjadi tema sentral dari substansi surat tersebut, demikian juga surat As-Shaff. Shaff adalah sesuatu yang sangat penting dan sangat menentukan keberhasilan dalam dakwah, jihad dan pergerakan Islam. Bahkan kesatuan shaff adalah persyaratan mutlak bagi kemenangan pergerakan dan dakwah Islam. Tanpa adanya kesatuan shaff, maka akan menimbulkan dampak langsung bagi kekalahan dan kegagalan dakwah dan perjuangan. Kisah perang Uhud merupakan salah satu bukti dari kekalahan perang disebabkan shaff yang berantakan, padahal sebelumnya sudah berada diambang kemenangan.
Namun demikian kesatuan shaff merupakan proses panjang dari realisasi aktivis dakwah terhadap nilai-nilai Islam. Kekuatan dan kekokohan shaff apalagi digambarkan Al-Qur’an sebagai kal-bunyaan al-marsuus (seperti bangunan yang kokoh) sangat terkait dengan nilai yang paling fundamental dari aktivis harakoh yaitu aqidah, ukhuwah dan fikrah Islam. Tanpa ada kekuatan aqidah, ukhuwah dan pemahaman yang mendalam terhadap fikrah Islam, maka mustahil kesatuan dan kekokohan shaff yang digambarkan Al-Qur’an dapat tercapai. Maka marilah kita merenungi apakah shaff dakwah kita sudah kokoh ? Apakah shaff Partai kita sudah bersatu dan kuat kal-bunyaan al-marsuus ?
Dan jika kita melihat realitas Partai Dakwah sekarang, maka sesungguhnya kita sangat membutuhkan pemimpin, figur dan tokoh Dakwah yang dapat mengokohkan shaff dan ukhuwah itu. Karena kesatuan shaff dan kekuatan ukhuwah adalah sesuatu yang paling prinsip dan mendasar dalam dakwah ini. Kita sangat membutuhkan pemimpin teladan yang dapat menjadi panutan para aktivis dakwah lainnya. Kita membutuhkan pemimpin yang zuhud yang dapat membebaskan dirinya dari fitnah harta dan jabatan.
Perjalanan dakwah masih panjang dan ujian dakwah sudah menghadang ditengah kita. Terkadang para da’i berhasil menghadapi ujian kesulitan dan penderitaan, tetapi tidak berhasil menghadapi ujian kemudahan dan kelezatan dunia, baik harta, wanita maupun jabatan. Dan demikianlah yang pernah diungkapkan oleh generasi terdahulu kita: Ubtuliina bid-dhorraa fashabarnaa ubtuliinaa bis-sharraa falam nashbir (kami diuji dengan kesulitan, maka kami bersabar, kami diuji dengan kemudahan tetapi kami tidak sabar). Oleh karenanya, hanya aktivis dakwah yang ikhlaslah yang dapat berhasil keluar dari ujian dan fitnah dalam dakwah tersebut
Surat As-Shaff memberikan Ma’alim fii at-Thariiq bagi para dai agar tidak menyimpang dalam dakwahnya dan agar tetap teguh dalam shaff yang rapi dan kokoh walaupun ujian, fitnah dan cobaan dalam dakwah datang menghadangnya. Dan marilah kita renungi satu-persatu ayat-ayat dalam surat tersebut, terkhusus pada ayat 2 dan 3.

Kejujuran dalam Berkata (Shidqul Kalam) Ayat 2-3
2. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
Allah SWT. menegur keras orang beriman dan aktivis dakwah yang mengatakan apa yang tidak diperbuat, bahkan Allah SWT. sangat membencinya. Karena aktivitas yang dominan dilakukan para dai adalah dakwah yang banyak menggunakan ucapan. Sehingga ucapan itu harus diselaraskan dengan perbuatan. Karena ucapan yang tidak sesuai dengan perbuatan dan kenyataan adalah dusta yang merupakan sifat munafik. Sehingga kejujuran adalah modal utama berikutnya bagi para dai.
Dan kejujuran harus dilakukan para dai dalam dakwahnya. Jujur dalam menyampaikan risalah Islam, jujur dalam bersikap dan jujur dalam berkata-kata. Salah satu ajaran Islam yang terpenting adalah jihad dan berperang melawan musuh Allah. Tetapi kita menyaksikan banyak para penceramah yang sudah dikenal oleh orang banyak dengan sebutan ustadz atau kyai dan sebutan lainnya tidak jujur dalam menyampaikan Islam. Mereka tidak berani menyampaikan jihad, dan kalaupun menyampaikan kata jihad, maka dibatasinya dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Atau semua bentuk jihad disebutkan, kecuali jihad dalam memerangi musuh Allah, baik musuh Allah itu Yahudi, Kristen maupun orang kafir lainnya.
Kejujuran dalam berkata dan bersikap merupakan keharusan bagi setiap muslim apalagi para kader dan pemimpin dakwah yang menyampaikan nilai-nilai Islam. Para kader dakwah tidak boleh memiliki standar ganda dalam perkataan dan sikap. Karena standar ganda akan merusak barisan dakwah dan menggagalkan perjuangannya. Syuro’ yang dilakukan Rasulullah SAW. sebelum perang Uhud merupakan sikap kejujuran yang paling baik yang terjadi pada diri Rasul dan sahabatnya. Ketika terjadi musyawarah sebagian besar sahabat menghendaki peperangan dilakukan di luar Madinah, sementara Rasulullah SAW. cenderung peperangan dilakukan di Madinah. Pendapat Rasul diikuti sahabat lain, tetapi mayoritas sahabat terutama para pemuda yang belum ikut perang Badar menghendaki perang dilakukan di luar Madinah. Akhirnya, Rasulullah SAW. mengikuti pendapat mayoritas dan perang dilakukan di luar Madinah. Dan Rasulullah SAW. memimpin langsung perang tersebut. Demikianlah, kejujuran adalah bagian dari prinsip bagi kader dan pemimpin dakwah dalam aktivitas dakwahnya.[13]


D.    Dakwah Dimulai Dari Diri Sendiri
Strategi Rasulullah dalam mengatasi krisis yang paling ampuh ialah selalu memulai dari diri sendiri. Termasuk dalam perkara dakwah. Prinsip ini tertuang dalam hadits singkat:

                                                                                                                        
Artinya :
 (mulailah dari diri sendiri).[14]

Ibda binafsik bukan hanya sekedar pepesan kosong. Tapi telah banyak orang-orang yang melakukannya. Dan ternyata orang-orang yang mengamalkannya adalah orang-orang besar dan agen perubahan dunia.
Setidaknya kita bisa mencontoh salah satu agen perubahan yang paling berpengaruh dan mempunyai pengikut di seluruh penjuru dunia. Dengannya kita mengecap dan merasakan dampak dari perubahan itu sendiri. Siapa lagi kalau bukan Rasulullah SAW. Darinya kita bisa belajar bagaimana dahsyatnya ibda binafsik itu. Karena ibda’ binafsik itu adalah kepribadiannya sekaligus ajarannya. Bahkan dalam QS As-Saf ayat 2-3 dan QS Al-Baqarah ayat 44 secara tidak langsung Allah menyindir orang-orang yang tidak ibda’ bi nafsik. Dalam artian, kita sudah seharusnya beramar ma’ruf terhadap manusia di samping kewajiban kita untuk mengamalkan apa yang kita sampaikan tersebut. Maka memulai dari kesadaran terhadap diri sendiri adalah sesuatu hal yang patut kita laksanakan. Bukankah ada pepatah bijak para ulama yang mengatakan “dakwah bil hal –dengan teladan tingkah laku– adalah dakwah yang paling efektif dan sangat mengena.” Walau pun begitu kita tidak memungkiri kewajiban dakwah bil lisan. Karena Rasulullah dan para sahabat pun melaksanakan kedua hal tersebut dalam menyebarkan panji-panji Islam di muka bumi.
Yang menjadi permasalahannya, banyak di antara kita yang begitu sering cuap-cuap tentang kebaikan dan memotivasi orang lain untuk bersegera dalam beramal tapi tanpa sadar dia jarang melakukannya atau bahkan mungkin tidak pernah sama sekali. Berkata-kata dengan bahasa yang indah hanya karena ingin pujian semata. Berorasi di podium hanya untuk ketenaran belaka. Tanpa pernah meresapi substansi dari apa yang disampaikannya.
Marilah kita tengok bagaimana Rasulullah bersikap dan berperilaku dalam hal ini. Selain dakwah bil lisan dan selalu memantik motivasi, Rasulullah juga tak pernah melupakan peranan dari dakwah bil hal atau tingkah laku. Bagaimana pun juga prilaku akan sangat berkesan dan bias menjadi objek anutan dan contoh yang sangat efektif di kehidupan bermasyarakat.
Jika Rasulullah menganjurkan shalat malam kepada sahabat-sahabatnya dan pengikutnya, maka beliaulah yang paling rajin mengisi malam-malam sunyinya dengan shalat qiyamullail. Rakaat- demi rakaat dia tegakan di hadapan Rabb-nya.
Dalam sebuah riwayat Aisyah mengatakan sampai-sampai kedua telapak kaki Rasulullah bengkak saking lamanya menegakan qiyamul lail. Lalu Aisyah berujar kepada Nabi, ”Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni semua dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Rasulullah menjawab, ”tidakkah aku menjadi seorang yang bersyukur?”
Jika Rasulullah sebagai penganjur sedekah maka dialah yang paling rajin mengulurkan tangannya untuk tabungan akhirat dan bersegera untuk transaksi yang tak mengenal kerugian (baca; sedekah dan mengeluarkan harta di jalan Allah). Rasulullah tidak pernah merasa sayang mengeluarkan hartanya, bahkan Rasullulah sangat jauh dari kemewahan. Rasulullah menyukai kesederhanaan dan kedermawanan. Selain kedua hal di atas, kita bisa menemukan ratusan contoh dan riwayat sejenis yang membuat kita semakin kagum dengan kepribadian agung Rasulullah SAW.
Maka tak heran konsep ibda bi nafsik Rasulullah menjadikannya seorang revolusioner yang bergerak cepat menyertai pergerakan zaman. Ibda binafsik itu tak ubahnya menjadi sebagai lokomotif yang mempercepat perubahan dan revolusi zaman. Dengan waktu sepuluh tahun Rasulullah mampu membangun perubahan yang begitu besar di kota Madinah. Membangun di segala bidang dan melindas peradaban sejenis pada masanya. Lihatlah di kitab-kitab sejarah. Peradaban Romawi dan Persia mampu bertekuk lutut di bawah kekuasaan Islam yang berjaya alam waktu yang tidak sebentar.
Tentu saja konsep ibda binafsik itu tidak berhenti hanya pada diri Rasulullah saja. Tapi terus menular dan berkesinambungan kepada para sahabatnya yang setia. Dan itu terus berestafet hingga masa tabi’in tabiut dan salafus salih. Sejarah telah mencatatnya dengan tinta emas dalam hal keteladanan mereka.[15]
Pendapat Penulis
 Dakwah merupakan proses menyampaikan ajaran-ajaran islam oleh seorang dai (penyeru dakwah) kepada mad’u (objek dakwah), sehingga frame hidup seorang mad’u berubah menjadi standarisasi islam dengan qur’an & hadits  sebagai acuan/referensinya. sedangkan bagi seorang dai ketika dia berdakwah maka mereka pun harus memperhatikan kewajiban dirinya terhadap ajaran islam itu sendiri serta segala sikap hidupnya (seluruhnya) tidak boleh kontradiktif dengan segala nilai-nilai islam. karena secara tidak langsung para dai adalah teladan bagi mad’u-mad’unya  sehingga ketika mereka melihat sikap kontradiktif para dai dengan nilai islam yang mereka dakwahkan akan sangat berpengaruh.
Ibda binafsik”, mulailah dari dari sendiri, demikian Nabi memberi pesan kepada ummatnya. Kita benar-benar diingatkan, disadarkan, sebab kita menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita menginginkan reformasi, akan tetapi diri kita sendiri tidak mau berubah. Berislam itu, artinya, siap tunduk dan patuh kepada ketentuan Allah agar kita berubah ke arah kesempurnaan hidup.

Dari mana kita mulai ? Dari diri sendiri sesuai dengan pesan Rasulullah di atas. Islam bukan ajaran yang mengawang-awang seperti teori-teori rumit dalam filsafat yang abstrak. Islam membumi. Ajarannya bisa disimpulkan dengan sederhana, praktis, dan seimbang. Siapa pun bisa melaksanakan Islam dengan baik. Dari guru besar sampai yang buta huruf, semuanya bisa menikmati Islam yang penuh rahmat.
BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pelaksana dakwah adalah ibarat pedagang, maka seorang pelaksana dakwah hendaknya menjual dulu dakwahnya kepada dirinya sendiri, dengan demikian akan memberikan dorongan kekuatan agar dakwah yang disampaikan mendapat sambutan dari sasaran dakwah. Untuk itu sebelum dakwah menembus hati orang lain, maka subjek dakwah terlebih dahulu harus menembus hatinya sendiri dalam QS. As-Saf/61 : 2-3
http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/61_2.png
http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/61_3.png
Terjemahnya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saf/61:2-3)
2.      Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangat di benci oleh Allah. Hal yang demikian tidaklah layak bagi orang yang telah mengaku beriman. Ayat 2 dan 3 ini adalah peringatan sungguh-sungguh bagi orang yang telah mengaku beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya jangan menjadi pembohong.

3.      Allah SWT. menegur keras orang beriman dan aktivis dakwah yang mengatakan apa yang tidak diperbuat, bahkan Allah SWT. sangat membencinya. Karena aktivitas yang dominan dilakukan para dai adalah dakwah yang banyak menggunakan ucapan. Sehingga ucapan itu harus diselaraskan dengan perbuatan. Karena ucapan yang tidak sesuai dengan perbuatan dan kenyataan adalah dusta yang merupakan sifat munafik. Sehingga kejujuran adalah modal utama berikutnya bagi para dai.

4.      Ibda binafsik”, mulailah dari dari sendiri, demikian Nabi memberi pesan kepada ummatnya. Kita benar-benar diingatkan, disadarkan, sebab kita menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita menginginkan reformasi, akan tetapi diri kita sendiri tidak mau berubah. Berislam itu, artinya, siap tunduk dan patuh kepada ketentuan Allah agar kita berubah ke arah kesempurnaan hidup.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustafa al Maraghi Tahsir al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Ali Cet.I; Semarang : Toha Putra, 1986
Amin, Muliaty, Pengantar Ilmu Dakwah, Makassar : UIN Alauddin Makassar, 2014
Hamka, Buya, Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1982
http://www.alquran-indonesia.com Diakses 18 Oktober 2015
Kafi, Jamaluddin, Pengantar Ilmu Dakwah,  Surabaya : Karunia, 1987




[2]Muliaty Amin, Pengantar Ilmu Dakwah, (Makassar:UIN Alauddin, 2014), hal. 60
[3]Lihat Jamaluddin Kafi, Pengantar Ilmu Dakwah (Surabaya:Karunia, 1987). hal. 41-45
[4]Ahmad Mustofa al Maragi Tafsir al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Ali (jet. I; Semarang:Toha Putra,1986), hal.35
[5]Muliiaty Amin, Pengantar Ilmu Dakwah,  (Makassar: UIN Alauddin Makassar), hal. 63
[12]Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII” Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1982, hal 155-159.

Atau Dowload Filenya di sini
<a href=”http://www.4shared.com/folder/4RcyTPE9/Makalah_Kelompok_4.html” title=”Download”><img alt=”download[4]” height=”74″ src=”https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBSXc85NwUIOQIN-lPXFsVGWH-PEdwEvCjZj6P94ZATqjR_d_AvWxTqZZVmCESRxE1nK9eD-ngWEdM5nO5L1SBd8bw5G-oUwTO1rjVkHyIci_01OeRtfsNgwOhUHy2axY1SXOS2o_qD973/s1600/download+oke+2.jpg” width=”216″ /></a>


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Konsep Syariah Dalam Pengembangan Produk Bank Syari'ah (Word dan Power Point)

Uji Bahaya Asap Rokok Terhadap Paru-Paru